Dalil bagi wanita yang sedang haid untuk berdiam di masjid adalah sudah jelas, yaitu tidak diperbolehkan, atau diharamkan. Hal ini sesuai dengan hadits berikut ini:
Dari Aisyah RA berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ku halalkan masjid bagi orang yang junub dan haidh.” (HR Bukhori, Abu Daud dan Ibnu Khuzaimah).
Wanita haid mempunyai beberapa larangan untuk mengerjakan rukun-rukun Islam, dan juga hal-hal yang berkaitan dengan agama Islam, seperti sholat dan puasa. Larangan ini juga termasuk dalam hal masuk dan berdiam atau duduk di dalam masjid, dimana dalilnya sesuai dengan hadits yang telah disebutkan diatas. Kebolehan orang yang sedang dalam keadan janabah atau haidh untuk masuk masjid hanya diizinkan bila hanya melintas, tidak sampai duduk lama dan berjam-jam lamanya.
Sebenarnya kebolehan melintas ini juga disebutkan dalam Al-Quran untuk orang yang dalam keadaan junub, namun para ulama telah memasukkan juga ke dalamnya orang yang sedang mendapat haid. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat An-Nisa yaitu:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi,” (QS An-Nisa’: 43).
Dalam surat An-Nisa ayat 43 tersebut diatas telah dijelaskan bahwa orang yang sedang berjunub tidaklah diperbolehkan untuk shalat, kecuali hanya sekedar lalu atau lewat saja. Maka sesuai dengan kondisi diatas keterpaksaan yang membolehkan seorang wanita haidh masuk masjid adalah yang bentuknya hanya melintas saja. Misalnya, untuk memotong jalan akibat adanya halangan tertentu. Atau karena memang ada sesuatu yang harus dibawanya ke masjid dan diletakkan di dalamnya. Begitu sudah diletakkan, dia harus segera keluar dari masjid. Tidak boleh berlama-lama di dalamnya, karena larangannya sangat jelas dan kuat. Selain itu, sebagai adab dan juga peraturan dalam Islam, untuk masuk ke dalam masjid diwajibkan menggunakan busana yang menutup aurat, atau busana yang syar’i.
Tentunya kita tidak boleh memudah-mudahkan sesuatu yang hukumnya sudah jelas dan dalilnya sudah qath’i. Sebab meski Islam memang agama yang mudah, namun bukan berarti setiap orang berhak melanggar semaunya sendiri. Kalau pun alasan terpaksa yang diajukan, bukankah yang namanya terpaksa itu bersifat dharurat? Apakah kehadiran wanita haidh dalam masjid sudah mencapai derajat darurat? Tentu saja tidak.
Kecuali bila terjadi tsunami dan tidak ada tempat untuk menyelamatkan diri kecuali masuk masjid. Maka saat itu para wanita haidh boleh masuk ke masjid dengan alasan dharurat.
Seandainya bentuk keterpaksaan itu adalah kewajiban datang dalam acara pengajian, maka perlu dijelaskan kepada pihak penyelenggara pengajian itu bahwa mereka harus memberikan tempat tertentu di bagian masjid, khusus untuk mereka yang sedang haidh. Yang pasti tempatnya bukan di ruang utama untuk shalat.